Pintar itu persekutuan antara banyaknya ilmu dan baiknya prilaku. Seorang ilmuwan belum bisa dikatakan pintar jika ilmunya tidak menjadikan prilakunya lebih baik. Seorang dermawan belum memenuhi kriteria pintar jika kedermawanannya tidak berdasarkan ilmu. Orang pintar akan menggunakan ilmu yang dia miliki untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya atau sebaliknya seluruh kebaikannya dicurahkan untuk mencari, menggali dan menyebar ilmu.
Sudahkah negara kita melahirkan orang-orang pintar? Jawabannya sangat komplex. Jika melihat keberlangsungan hidup bangsa dan negara, tentunya hal ini bisa terjadi karena kontribusi anak-anak bangsa yang pintar. Mereka berusaha mengamalkan ilmunya untuk kepentingan Indonesia. Namun jika melihat menjamurnya ‘white collar crime’, kejahatan yang dilakukan orang-orang bersafari, tentu kita mendapatkan bukti eksistensi orang bodoh. Mereka memanipulasi ilmu untuk kepentingan nafsu. Kesimpulan pribadi saya dan mudah-mudahan di-amini oleh rekan-rekan sekalian, “negara ini telah melahirkan orang-orang pintar namun jumlah mereka dikalahkan oleh kelahiran orang-orang bodoh. Sehingga kepintaran di negara kita dibodohi karena kebodohan di negara kita memintari.”
Berlarut-larutnya kasus Bank Century manjadi bukti sahih eksistensi kebodohan di Indonesia. Ibu pertiwi yang telah melahirkan sedang dibodohi anak sendiri. Pelaku perampokan (meminjam istilah mantan wapres, Yusuf Kalla) Bank Century terbukti sebagai orang bodoh yang menggunakan ilmu ekonomi dan akuntansinya untuk menipu para nasabah. Dan jika benar ada aliran dana Century yang masuk ke kantong pelaksana negara, berarti kita sedang disetir oleh sopir bodoh yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Hebatnya lagi kebodohan ini terus menjalar sampai ke meja sidang para dewan terhormat.
Pansus Century telah dibentuk dan sedang melaksanakan tugasnya, namun samar-samar tercium asap kebusukan. Kita disuguhi pagelaran wayang di gedung DPR dengan panitia pansus sebagai lakonnya. Kadang mereka saling hujat, meninggikan suara sampai hampir putus urat saraf, bertanya ngalor-ngidul tidak jelas ujung pangkalnya dan ujung-ujungnya sidang ditutup untuk dibuka lagi esok hari. Anggota pansus nampak tertekan namun tetap pulang ke rumah dengan senyum lebar. Rumitnya penyelesaian kasus Century membuat mereka menjadi bintang, setiap hari disorot kamera tivi dan tentunya dibanjiri uang sidang. Tinggal kita pemilik Indonesia mengerut dahi sambil mengusap dada, berapa banyak lagi uang negara akan dihabiskan untuk sebuah dagelan yang tidak lucu. Kok tega!.
Orang bodoh dimana saja sama selalu bikin perkara. Di rumah bisa membuat keretakan rumah tangga, di kampung atau desa bisa menjadi pengacau kenyamanan, di negara bisa menjadi pengisap kekayaan rakyat. Maka jika di suatu komunitas banyak tejadi kekacauan dan bencana bisa dipastikan populasi orang bodoh di komunitas tersebut lebih banyak dari orang pintarnya.
Mengaca kepada judul artikel ini ‘merasa pintar’, mari sama-sama kita menjadi pintar dan bukan hanya merasa pintar karena sudah mendapatkan banyak gelar pendidikan, merasa pintar karena sudah berhasil dalam bidang finansial, merasa pintar karena sudah bisa duduk di deretan kursi pemerintahan. Menjadi pintar berarti mencurahkan segala ilmu yang kita miliki dalam bidang apapun untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa dan negara. Semoga dengan adanya kesadaran akan makna pintar sebenarnya, akan banyak terlahir kembali anak-anak bangsa yang peduli terhadap nasib ibu pertiwi.
Sudahkah negara kita melahirkan orang-orang pintar? Jawabannya sangat komplex. Jika melihat keberlangsungan hidup bangsa dan negara, tentunya hal ini bisa terjadi karena kontribusi anak-anak bangsa yang pintar. Mereka berusaha mengamalkan ilmunya untuk kepentingan Indonesia. Namun jika melihat menjamurnya ‘white collar crime’, kejahatan yang dilakukan orang-orang bersafari, tentu kita mendapatkan bukti eksistensi orang bodoh. Mereka memanipulasi ilmu untuk kepentingan nafsu. Kesimpulan pribadi saya dan mudah-mudahan di-amini oleh rekan-rekan sekalian, “negara ini telah melahirkan orang-orang pintar namun jumlah mereka dikalahkan oleh kelahiran orang-orang bodoh. Sehingga kepintaran di negara kita dibodohi karena kebodohan di negara kita memintari.”
Berlarut-larutnya kasus Bank Century manjadi bukti sahih eksistensi kebodohan di Indonesia. Ibu pertiwi yang telah melahirkan sedang dibodohi anak sendiri. Pelaku perampokan (meminjam istilah mantan wapres, Yusuf Kalla) Bank Century terbukti sebagai orang bodoh yang menggunakan ilmu ekonomi dan akuntansinya untuk menipu para nasabah. Dan jika benar ada aliran dana Century yang masuk ke kantong pelaksana negara, berarti kita sedang disetir oleh sopir bodoh yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Hebatnya lagi kebodohan ini terus menjalar sampai ke meja sidang para dewan terhormat.
Pansus Century telah dibentuk dan sedang melaksanakan tugasnya, namun samar-samar tercium asap kebusukan. Kita disuguhi pagelaran wayang di gedung DPR dengan panitia pansus sebagai lakonnya. Kadang mereka saling hujat, meninggikan suara sampai hampir putus urat saraf, bertanya ngalor-ngidul tidak jelas ujung pangkalnya dan ujung-ujungnya sidang ditutup untuk dibuka lagi esok hari. Anggota pansus nampak tertekan namun tetap pulang ke rumah dengan senyum lebar. Rumitnya penyelesaian kasus Century membuat mereka menjadi bintang, setiap hari disorot kamera tivi dan tentunya dibanjiri uang sidang. Tinggal kita pemilik Indonesia mengerut dahi sambil mengusap dada, berapa banyak lagi uang negara akan dihabiskan untuk sebuah dagelan yang tidak lucu. Kok tega!.
Orang bodoh dimana saja sama selalu bikin perkara. Di rumah bisa membuat keretakan rumah tangga, di kampung atau desa bisa menjadi pengacau kenyamanan, di negara bisa menjadi pengisap kekayaan rakyat. Maka jika di suatu komunitas banyak tejadi kekacauan dan bencana bisa dipastikan populasi orang bodoh di komunitas tersebut lebih banyak dari orang pintarnya.
Mengaca kepada judul artikel ini ‘merasa pintar’, mari sama-sama kita menjadi pintar dan bukan hanya merasa pintar karena sudah mendapatkan banyak gelar pendidikan, merasa pintar karena sudah berhasil dalam bidang finansial, merasa pintar karena sudah bisa duduk di deretan kursi pemerintahan. Menjadi pintar berarti mencurahkan segala ilmu yang kita miliki dalam bidang apapun untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa dan negara. Semoga dengan adanya kesadaran akan makna pintar sebenarnya, akan banyak terlahir kembali anak-anak bangsa yang peduli terhadap nasib ibu pertiwi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar